Beranda | Artikel
Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir?
Minggu, 29 Juli 2007

KAFIRKAH ORANG YANG TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR?

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani

VONIS KAFIR MERUPAKAN HUKUM SYAR’I
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Penetapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.”[1]

Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orang kafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya.[2]

Begitu pula Ibnul-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[3]

Lebih lanjut Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, baik pembatal qauliyah, i’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]

Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masâilul Imân al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah as-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]

Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menjatuhkan vonis kafir dengan dasar hawa nafsu atau akal pemikirannya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah berhukum dengan selain hukum Allah dalam masalah ini. Oleh sebab itu, ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tidak sembarangan dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus-Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka– karena takfir merupakan hukum syar’i, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram–berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala – demikian pula dengan takfir; ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir, kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” [6]

KAIDAH SYARI’AT : BARANGSIAPA TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR, MAKA IA KAFIR!
Maksud kaidah ini harus diperjelas. Karena merupakan kewajiban, siapa saja yang berbicara tentang masalah ilmiah, ia harus memperjelas makna istilah yang digunakan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, perkara yang diperselisihkan oleh kaum mutaakhirin tentang penetapan dan penafiannya, maka bagi seseorang –termasuk dirinya sendiri– tidak wajib untuk menyepakati seseorang atas penetapan ungkapan tertentu atau penafiannya, hingga ia mengetahui maksudnya. Jika maksudnya hak, maka diterima. Jika maksudnya batil, maka ditolak. Jika ungkapan itu mengandung makna hak dan batil, maka tidak bisa diterima secara mutlak ; Begitu pula tidak ditolak secara keseluruhan. Ungkapan tersebut harus diperjelas dan ditafsirkan maknanya.[7]

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ungkapan tentang hakikat-hakikat iman dengan menggunakan al-Qur`an lebih utama daripada menggunakan ungkapan selainnya. Ungkapan al-Qur`an wajib diimani, karena ia merupakan wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[8]

Demikian juga ungkapan, “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir,” maka kaidah ini harus diperjelas maksudnya. Jika maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir. Atau juga yang mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan meyakini mereka termasuk sebagai kaum Muslimin, maka kaidah tersebut dianggap benar. Karena konsekwensinya, orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. [al Maidah/5:51].

Dengan demikian ia telah menentang hukum Allah yang telah menjatuhkan vonis kafir terhadap orang-orang tersebut. Seperti halnya orang-orang yang meyakini kesatuan agama. Yaitu mereka berkeyakinan semua agama adalah sama. Beranggapan bahwa orang Nasrani dan Yahudi juga merupakan orang-orang muslim mukmin; maka orang yang berkeyakinan seperti itu bisa jatuh vonis kafir, apabila telah terpenuhi syarat-syarat takfir dan tidak ada lagi penghalangnya.

Syaikh Bakar Abu Zaid menjelaskan masalah ini sebagai berikut :
Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan tidak mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [al Maidah/5:51].

Di antara bukti terputusnya wala` (loyalitas) antara kita dengan mereka, ialah tidak adanya waris- mewarisi antara muslim dan kafir selama-lamanya. Setiap muslim wajib meyakini kekufuran setiap orang yang menolak memeluk Dinul-Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun selainnya. Wajib menamainya kafir. Wajib meyakini mereka sebagai musuh, dan meyakini mereka sebagai penduduk neraka. Allah berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. [al-A’raf/7:158].

Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّار

Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka.

Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.

Kita mengatakan kepada Ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya:

انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ

Berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. [an-Nisâ`/4:171].

Sehingga, siapapun pada hari ini, tidak dibenarkan tetap bertahan memegang dua syari’at tersebut, yaitu agama Yahudi dan Nasrani. Apalagi memeluk salah satu dari keduanya. Tidak dibenarkan memeluk agama, selain agama Islam. Dan tidak dibenarkan berpredikat selain sebagai muslim, atau sebagai pengikut millah Ibrahim.[9]

Adapun orang-orang yang masih diperselisihkan status kekafirannya oleh para ulama, misalnya orang yang meninggalkan shalat, atau orang yang jelas melakukan amalan kekufuran namun syarat jatuhnya vonis kafir terhadap mereka belum terpenuhi, dan belum hilang penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir; maka penerapan kaidah tersebut terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir merupakan perkara besar yang akan membuka pintu-pintu kejelekan, pertumpahan darah dan fitnah.

Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, [al-Bayyinah/98:1].

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98:6].

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

Dan al-Qur`an ini diwahyukan kepadaku, supaya dengannya, aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur`an (kepadanya). [al-An’am/6:19].

هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ

(Al-Qur`an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui. [Ibrahim/14:52].

Demikanlah ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekafiran ahli kitab, dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan itu.

Telah pula diriwayatkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّار

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka.

Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah syari’at, “barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesudah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”.[10]

Dalam fatwa yang ditanda tangani oleh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ‘Abdur-Razzaq ‘Afifi, ‘Abdullah bin Ghudayyan dan ‘Abdullah bin Qa’ûd, diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut.

Pertanyaan: Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengkafirkan orang kafir.

Jawab: Barang siapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertaubat. Dan barang siapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya.

Wa billâhit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau.[11]

Demikianlah perincian yang dijelaskan oleh para ulama berkenaan dengan kaidah tersebut.

PENYALAHGUNAAN KAIDAH INI OLEH KELOMPOK JAMA’AH TAKFIR WAL-HIJRAH
Namun kaidah barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir, ini telah disalahgunakan oleh kelompok yang senang mengkafirkan kaum Muslimin, yaitu kelompok jama’ah takfir dan hijrah.

Jama’ah takfir dan hijrah ini mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak sejalan dengan keyakinan Khawarij mereka dengan hujjah “barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”. Mereka juga mengkafirkan siapa saja yang tidak mengkafirkan penguasa muslim yang telah mereka kafirkan, merekapun mengkafirkan orang-orang yang tidak mengkafirkan muslim yang melakukan dosa besar. Dalam hal ini, mereka berjalan di atas manhaj pendahulu mereka, yaitu Khawarij!

Penyalahgunaan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya fitnah di tengah kaum Muslimin, membuka pintu-pintu kejahatan, pertumpahan darah, penghalalan harta dan kehormatan di tengah kaum Muslimin, wal iyadzu billah.

Intinya, kita harus memahami kaidah syari’at yang berbunyi “barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir” tersebut menurut pemahaman yang telah dijelaskan dan disyarah oleh para ulama yang terpercaya, yakni ulama salaf. Jangan memahaminya secara serampangan, karena berakibat fatal dan menyeret kepada kesesatan.

SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL-HIJRAH?
Syaikh Nashir bin ‘Abdul Karim al-’Aql menjelaskan secara sekilas tentang jama’ah ini sebagai berikut.

Jama’ah takfir wal hijrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul-Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seorang mahasiswa Fakultas Pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).

Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385 H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391 H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereka terbunuh setelah mereka menculik Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi.

Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keafiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dasar pemikiran dan ciri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut.

Pertama. Mengkafirkan. Hal ini mencakup:

  • Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menganggap mereka keluar dari agama dan kekal selamanya di dalam neraka, sebagaimana pendapat Khawarij terdahulu.
  • Menganggap kafir siapa saja yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum Muslimin (ulama atau yang lainnya), dan menjatuhkan vonis kafir ini secara mu’ayyan (terarah kepada person tertentu).
  • Mengkafirkan siapa saja yang keluar dari jama’ah mereka yang dahulu pernah bersama mereka, atau orang yang berbeda dengan dasar mereka.
  • Mengkafirkan masyarakat muslim (yang bukan dari mereka), dan menghukuminya sebagai masyarakat jahiliyah.
  • Menganggap kafir siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak dan tanpa perincian.
  • Mengkafirkan siapa saja yang tidak mau hijrah kepada mereka dan orang yang tidak mau memboikot masyarakat dan yayasan-yayasan (organisasi-organisasi).
  • Menganggap kafir secara mutlak orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, menurut mereka.

Kedua. Kewajiban hijrah dan ‘uzlah (menyendiri). Hal ini mencakup:

  • Meninggalkan mesjid kaum Muslimin dan tidak boleh shalat di dalamnya, walaupun harus meninggalkan shalat Jum’at.
  • Tidak bergaul dengan masyarakat muslim yang ada di sekitarnya secara mutlak.
  • Tidak ikut belajar dan mengajar, serta mengharamkan masuk ke universitas-universitas dan sekolah-sekolah.
  • Tidak membolehkan menjadi pegawai negeri dan tidak boleh bekerja pada yayasan-yayasan umum, serta mengharamkan bekerja di lingkungan yang mereka sebut sebagai masyarakat jahiliyah, yaitu siapa saja yang bukan dari golongan mereka.

Ketiga. Mengajak umat agar buta huruf dan memerangi pendidikan.
Hal ini mereka serukan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merupakan orang-orang yang buta huruf, kecuali sebahagian kecil saja. Mereka beranggapan, tidak mungkin seseorang menggabungkan antara mencari ilmu dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , seperti shalat, puasa, haji, do’a, zikir, membaca al-Qur`an, berjihad dan berdakwah. Menurut mereka, seorang muslim bisa mengetahui ilmu agama sekadar apa yang ia butuhkan, dengan hanya mendengarkan langsung tanpa harus belajar tulis baca terlebih dahulu, dan berbagai bentuk syubhat lainnya.

Keempat. Sikap diam dan klarifikasi (kaidah tabayyun).
Yang mereka maksudkan dalam hal ini, yakni sama dengan maksud pendahulu mereka, yaitu Khawarij terdahulu. Yaitu tawaqquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya, apakah dari kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukumnya kafir dan tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka dan telah membai’at imam mereka. Setelah itu, barulah seseorang tersebut menjadi seorang muslim. Bila tidak, maka ia kafir.

Kelima. Mereka mengatakan, tokoh mereka (yaitu Syukri Musthafa) sebagai imam mahdi yang muncul pada akhir zaman, dan Allah akan memenangkan agama ini dengannya, dari agama yang lain di muka bumi.

Keenam. Mereka memiliki anggapan, jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum Muslimin, jama’ah akhir zaman yang akan membunuh Dajjal. Dan menurut mereka, waktu munculnya Dajjal serta turunnya Isa Alaihissallam sudah dekat.

Ketujuh. Mereka mengatakan, bahwa kewajiban syariat bisa saling berbenturan.

Maksud mereka dari anggapan ini, yaitu dibolehkan meninggalkan sebahagian kewajiban ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan meninggalkan syari’at tersebut. Mereka meninggalkan shalat Jum’at, karena menganggap mereka dalam masa lemah, padahal syarat Jum’at ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebahagian kalangan mereka membolehkan mencukur jenggot, dengan dalih jenggot akan mempersempit ruang gerak dan berbahaya bagi mereka.

Kedelapan. Dasar-dasar dan ciri-ciri bid’ah lainnya, seperti:

  • Pendapat tentang adanya fase hukum. Yaitu, mereka dibolehkan meninggalkan sebahagian syari’at (shalat Jum’at dan shalat ‘Id), serta boleh melakukan sebahagian yang diharamkan, seperti menikah dengan wanita kafir, mencukur jenggot dan memakan sembelihan orang kafir, karena mereka beranggapan berada dalam fase lemah, sebagaimana pada masa dakwah Nabi di Mekkah.
  • Membuat dasar syari’at baru yang berbeda dengan manhaj Mereka menolak ijma’, melarang taqlid dan ittiba’ (mencontoh) secara mutlak, sehingga mereka mewajibkan semua manusia untuk berijtihad.
  • Mereka tidak berpedoman kepada pemahaman para sahabat, ulama dan para imam dalam memahami al-Qur`an dan Hadits.
  • Mereka tidak mengakui khilafah Islamiyah setelah abad keempat, dan menganggap kafir abad-abad sesudah itu.
  • Mereka bersikap keras dan kasar dalam bergaul.
  • Mereka merasa berilmu, sombong, dan merasa lebih istimewa dari kaum Muslimin lainnya.
  • Mereka menghalalkan darah dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, bagi yang pernah bersama dengan mereka, dan menyebutnya sebagai orang murtad atau sebutan lainnya dari kalangan kaum Muslimin. Aksi yang pernah mereka lakukan, yaitu menculik dan membunuh Syaikh Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi, menculik sebahagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis seperti perbuatan kaum Khawarij. Kita memohon keafi’atan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
  • Di kalangan mereka cepat terjadi perpecahan, permusuhan dan saling memakan di antara mereka sendiri.[12]

MENJATUHKAN HUKUM KAFIR DISERAHKAN KEPADA KALANGAN KHUSUS ULAMA
Dalam masalah manjatuhkan hukum kafir, Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan: “Tidak semua orang berhak menjatuhkan vonis kafir, atau berbicara tentang vonis kafir terhadap jama’ah tertentu, atau orang tertentu. Takfir memiliki batasan-batasan dan kaidah. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi kafir”.

Kemudian beliau melanjutkan:
Takfir merupakan masalah yang sangat berbahaya. Tidak sembarang orang boleh berbicara tentang masalah ini terhadap orang lain. Kewenangan ini merupakan milik mahkamah syar’i, merupakan kewenangan ahli ilmu yang luas ilmunya, yang mengetahui Islam dan mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Mereka inilah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.

Adapun orang-orang jahil dan anggota masyarakat serta para pelajar, mereka tidak berhak menjatuhkan hukum kafir terhadap diri orang tertentu, atau jama’ah tertentu, atau negara tertentu. Karena mereka bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut.[13]

MARAJI`:

  1. Al-Ajwaibah al-Mutalâimah, ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul-Hamid.
  2. Al-Ibthal, Syaikh Bakar bin ‘Abdillah Abu Zaid.
  3. Al-Khawarij, Abdul Karim al-‘Aql.
  4. An-Nubuwwah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
  5. Ar-Radd ‘alal Bakri, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
  6. Ar-Risâlah ad-Tadmuriyah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
  7. At-Tabshir bi Qawâidut-Takfir, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid.
  8. At-Ta’rif wat Tanbi’ah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid.
  9. Fatawa Lajnah Dâimah lil-Buhûts Ilmiyah wal Iftâ`, Ahmad bin Abdur-Razzaq ad-Duwaisy.
  10. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  11. Minhâjus-Sunnah an-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  12. Mujmal Masâilul Imân al-Ilmiyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyah.
  13. Mukhtashar ash-Shawâiqul-Mursalah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
  14. Nawâqidhul Imân al-Qauliyah wal-‘Amaliyah, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin ‘Ali al-‘Abdul al-Lathif

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmu’ Fatawa (V/545).
[2] Minhâjus-Sunnah an-Nabawiyah (V/95).
[3] Mukhtashar ash-Shawâiqul Mursalah, halaman 421.
[4] Majalah ad-Da’wah, Edisi 4, Rabi’ul Akhir 1421 H.
[5] Mujmal Masâilul-Imân al-Ilmiyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyah, yang ditulis secara bersama oleh lima orang ulama, yaitu: Husain bin ‘Audah al-‘Awâisyah, Muhammad Musa Ali Nashr, Salim bin ‘Id al-Hilali, Ali bin Hasan al-Halabi dan Masyhur Hasan Salman, halaman 17.
[6] Ar-Radd ‘alal Bakri (II/493).
[7] Ar-Risâlah ad-Tadmuriyah, halaman 28.
[8] An-Nubuwwat, (II/876).
[9]  Lihat buku al-Ibthal, Syaikh Bakar bin ‘Abdillah Abu Zaid.
[10] Fatawa Lajnah Dâimah lil Buhûts Ilmiyah wal Iftâ`, Ahmad bin Abdur-Razzaq ad-Duwaisy.
[11] Fatawa Lajnah Dâimah lil Buhûts Ilmiyah wal Iftâ`, Ahmad bin Abdur-Razzaq ad-Duwaisy, pertanyaan kedua dari fatwa nomor 6201.
[12] Al-Khawarij, Syaikh Dr. Nashir al-‘Aql, halaman 132.
[13] Al-Muntaqâ min Fatâwîhi (I/112).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2190-kafirkah-orang-yang-tidak-mengkafirkan-orang-kafir.html